Rabu, 18 Februari 2009

DOSA YANG BERBAHAYA?


DOSA YANG BERBAHAYA?

Yakobus 4 : 6, Kolose 3 : 12

Apa itu dosa yang berbahaya?? Blaise Pascal dalam salah satu ungkapannya pernah berkata: “Ada dua macam manusia, yang pertama adalah orang benar yang merasa dirinya berdosa, dan macam yang kedua adalah orang berdosa yang merasa dirinya benar.” Kalau kita renungkan, tentu macam orang yang pertama tidaklah menjadi masalah bagi kita, memang sudah seharusnya kita menyadari bahwa kita adalah orang-orang berdosa. Tetapi macam orang yang kedua, jelas berbahaya, ini adalah golongan orang yang membesar-besarkan diri secara keterlaluan, bahkan melebihi dari nilai diri yang sebenarnya. Dengan kata lain sebenarnya kita bisa menyebut yang pertama sebagai orang yang rendah hati, dan yang kedua sebagai orang yang sombong.

Setiap orang dapat memiliki sikap sombong. Dan yang lebih ‘parah’ adalah bahwa kesombongan merupakan kecenderungan terbesar yang sering menggoda seseorang untuk melakukannya. Dan hal ini pun dapat terjadi pada anak-anak Tuhan, dan harus disadari bahwa “Kesombongan merupakan dosa yang sangat berbahaya, karena itu kita harus berupaya untuk memerangi dan menjauhinya.” Firman Tuhan mengajarkan kita untuk melihat beberapa hal penting tentang dosa kesombongan ini:

  1. Mengapa kesombongan merupakan dosa yang berbahaya?

Yang Pertama: Karena kesombongan ditentang oleh Allah (Yakobus 4: 6, Amsal 16:5b).

Surat Yakobus yang penuh dengan teguran dan peringatan bagi orang-orang Kristen menentang akan kecongkakan, ayat ini perlu kita cermati dalam konteks yang tepat, yaitu bahwa pada pasal 4 ini Yakobus sedang bicara tentang persahabatan dengan dunia yang ditentangnya, kemudian ia mengontraskannya dengan kasih karunia Allah yang besar, baru ia mengutip tentang orang congkak dan orang rendah hati. Jelaslah bahwa “Tidak ada seorang manusia pun yang berhak menjadi sombong ketika harus berhadapan dengan kasih karunia Allah yang demikian besar.” Dan orang yang demikian memang ditolak Allah.

Kata ‘congkak’ dalam Yakobus 4:6 sebenarnya menyatakan orang yang menganggap dirinya lebih tinggi daripada orang lain, ini tentunya merupakan pelanggaran terhadap Allah maupun manusia. Dan memang Firman Tuhan cukup sering berbicara dengan keras terhadap sikap congkak ini, misalnya: “Aku benci kepada kesombongan” (Amsal 8:13); “Orang yang sombong dan tinggi hati, aku tidak suka” (Mazmur 101:5); “Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi Tuhan” (Amsal 16:5a). Sepertinya tidak diperlukan kata-kata yang lebih banyak untuk menyatakan kebencian, perasaan muak, dan antipati Allah terhadap kesombongan, kecongkakan, dan tinggi hati. Semua itu adalah kekejian bagi Allah.

Kecongkakan tidak lain merupakan ‘pendewaan terhadap diri sendiri’, di mana seseorang menganggap dirinya lebih tinggi daripada yang sepatutnya. Ia mengangkat dirinya kepada kehormatan yang menjadi milik Allah. Pengagungan dan kemuliaan yang seharusnya ditujukan hanya kepada Allah saja, telah dialihkan pada pengagungan dan kemuliaan terhadap diri sendiri. Dan ini jelas adalah sikap yang menunjukkan suatu perlawanan terhadap Allah.

Ketika di dalam diri seseorang muncul sikap sombong, angkuh, maka ia tidak lagi akan bergantung sepenuhnya kepada Allah atau bahkan tidak sama sekali. Kesombongan membuat seseorang merasa dirinya seolah-olah ‘bebas’ dari Allah. Bukankah hal seperti ini pula yang pernah terjadi pada Adam, yang menjadi sebab utama dosanya. Dia bukannya bergantung pada Allah, melainkan ia ingin menjadi sama seperti Allah. Sikap seperti demikian juga berarti ‘merendahkan’ Allah, karena menganggap diri mampu menyamai Allah.

Yang Kedua “Mengapa kesombongan merupakan dosa yang berbahaya”: Karena kesombongan mendatangkan kehancuran bagi pelakunya (Amsal 16:18, Amsal 16:5b).

Jika kita lihat dalam Amsal 6:16-17, maka kita akan menemukan kata ‘kesombongan’ pada urutan pertama dari 7 perkara yang menjadi kekejian hati Tuhan. Penempatan kata ‘kesombongan’ pada urutan pertama dari 7 dosa yang disebutkan dalam Amsal 6:16-17 tersebut, jika kita lihat kaitannya dalam frasa “kecongkakan mendahului kehancuran” yang terdapat dalam Amsal 16:18, maka dapat kita katakan bahwa ‘kecongkakan adalah keadaan mental atau moral yang mendahului hampir semua dosa-dosa lain, yang pada akhirnya membawa kepada satu kehancuran. Memang kita tidak dapat mengatakan bahwa secara mutlak semua dosa disebabkan atau bermula dari kesombongan, tapi kita dapat mengatakan bahwa ‘kesombongan dapat berlanjut pada tindakan-tindakan lain yang merupakan suatu dosa; misalnya mengucapkan dusta sebagai dukungan untuk menyombongkan diri, dengan maksud merendahkan orang lain, yang dengan demikian pada akhirnya menimbulkan perselisihan dengan sesama.

Dari beberapa peristiwa yang dicatat dalam Alkitab mengenai dosa kesombongan, kita dapat melihat betapa ‘tegas dan keras’ tindakan yang Allah lakukan untuk menentang dosa tersebut. Akibat yang dialami pelakunya benar-benar mendatangkan kehancuran. Malaikat Lucifer diusir dari surga bukan karena ia mabuk-mabukkan atau berbuat sesuatu yang asusila, melainkan karena ia ingin menyamai dirinya dengan Yang Mahatinggi, bahkan lebih tinggi daripada Allah. Dan akibatnya dia diusir dari surga.

Tindakan atau hukuman Allah terhadap orang-orang yang sombong, tidak berhenti pada kisah kejatuhan Lucifer. Kita masih bisa melihat beberapa peristiwa lain yang tercatat di Alkitab mengenai hukuman atas dosa kesombongan atau kecongkakan. Misalnya: Kita tentu ingat dengan baik apa yang menyebabkan keruntuhan menara babel (Kejadian 11:1-9), tidak lain adalah karena keinginan dari orang-orang pada waktu itu untuk mencari nama, yang sama artinya dengan menyombongkan diri; Juga Nebukadnezar yang karena kesombongannya dihukum oleh Allah dengan cara dihalau dari kerajaannya dan hidup seperti binatang. Semua itu ia alami selama 7 masa, sampai pada akhirnya ia mengakui bahwa Yang Mahatinggi berkuasa atas segala sesuatu (Daniel 4:28-37); belum lagi Raja Herodes, yang karena keangkuhannya, ditampar oleh malaikat Tuhan sehingga ia mati dan dimakan cacing-cacing (Kisah Rasul 12:22-23).

Allah membenci orang yang membesar-besarkan diri secara berlebihan, melebihi dari nilai yang sebenarnya, Allah menentang orang yang sombong dan Allah akan menghukumnya.

Kurang lebih 88 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 15 April 1912, sebuah kapal pesiar dengan panjang 265 meter, lebar 28 meter, dan tinggi 52,2 meter, dengan memuat penumpang 1500 orang, berlayar di sepanjang lautan atlantik. Kapal ini begitu megah dengan berbagai fasilitas yang luar biasa. Dapat dipastikan kapal ini juga dirancang sedemikian rupa dan dengan peralatan yang kuat. Menyadari akan kehebatan kapal ini, sampai-sampai seorang perancang kapal tersebut berkata: “Tuhan pun tidak akan dapat menenggelamkan kapal ini.”

Pada malam tanggal 15 April 1912, tanpa diduga oleh ‘seorang pun’ kapal tersebut menabrak sebuah gunung es dengan sangat hebat, yang menewaskan lebih dari setengah penumpang kapal yang berjumlah 1500 orang tersebut. Lenyaplah sudah kapal yang megah itu berikut segala kebanggaan dan kesombongan dari orang-orang yang mengagumi kapal tersebut. Itulah kapal Titanic, yang mana tragedinya tetap diingat oleh dunia sampai saat ini.

Siapa yang menduga sebelumnya jika kapal yang megah dan kuat tersebut akan hancur dalam waktu semalam. Kehancuran kapal Titanic bukanlah suatu hal yang kebetulan. Tuhan melihat ada kesombongan dibalik kemegahan kapal tersebut, dan saat itulah Tuhan segera bertindak. Tuhan tidak dapat membiarkan kesombongan terus ‘bertakhta’ dihati manusia, yang membuat manusia tidak lagi melihat atau bergantung pada kedaulatan Allah.

Kita yang disebut anak-anak Tuhan, bukan berarti kita dapat bebas dari dosa kesombongan. Sebaliknya, kita pun sewaktu-waktu bisa jatuh dalam dosa kesombongan ini. Ketika kita berbicara tentang ‘kesombongan’ ini, mungkin dalam hati kita berkata: “Oh…puji Tuhan, karena selama ini saya bisa mengendalikan diri saya sehingga saya tidak menjadi seorang yang sombong. Yang menjadi pertanyaan: ‘Benarkah kita selama ini “bebas” dari rasa sombong? Bukankah ketika dengan bangganya kita berkata bahwa kita bukan seorang yang sombong, sebenarnya kita telah menunjukkan betapa sombong diri kita sebenarnya’.

Mungkin seringkali tanpa kita sadari, kita telah menjadi orang-orang yang sombong. Ada banyak hal yang dapat membuat kita menjadi sombong. Penddikan, keberhasilan, pekerjaan, rumah tangga, kekayaan, kecantikan …. Oh banyak sekali. Bahkan kita juga dapat menjadi sombong atas segala talenta dan karunia yang kita miliki. Kita merasa kita memiliki nilai “lebih” dari orang lain, apalagi ketika melihat karunia itu hanya ada pada diri kita.

Kita perlu ingat bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan berasal dari Allah , oleh karena itu Allah berhak untuk mengambil atau mencabut apa yang ada pada diri kita sekarang ini, dan kita tidak dapat berbuat apa-apa. Tuhan dapat ‘menindak atau menghukum’ kita karena kesombongan kita, dengan berbagai caranya yang tak terduga. Jangan kita sombong!

  1. Bagaimana cara kita memerangi dan menjauhi dosa kesombongan?

Kita telah melihat betapa Allah sangat membenci kesombongan serta kita juga telah melihat akibat yang diterima oleh orang-orang yang memiliki sikap hati yang sombong. Untuk itu, sebagai anak-anak Tuhan perlu bagi kita untuk memerangi dan menjauhi dosa kesombongan ini. “Bagaimana cara kita memerangi dan menjauhi dosa kesombongan ini?” Satu hal yang terpenting yang harus menjadi perhatian kita adalah dengan: Mengenakan sifat kerendahan hati (Efesus 4:2, Kolose 3:12).

Dalam Efesus 4:2 ini, rasul Paulus ingin menjelaskan bagaimana seharusnya hidup seorang Kristen, jika ia bersekutu di dalam gereja Kristus, “Yaitu dengan segala kerendahan dari hati yang lembut, dengan kesabaran, seorang sabar terhadap yang lain dalam kasih.” Perhatikan bahwa yang pertama-tama Paulus minta ialah, supaya mereka rendah hati (= Tapeinophrosune).

Dalam bahasa Yunani tidak ada istilah untuk kerendahan hati yang tidak dihubungkan dengan pengertian “kehinaan”. Sebelum datangnya kekristenan, kerendahan hati sama sekali tidak dianggap sebagai suatu sifat kemanusiaan, dunia kuno memandang sangat rendah terhadap kerendahan hati itu. Pada zaman Paulus sendiri, hal itu sepertinya masih berpengaruh, terbukti bahwa kerendahan hati bukanlah sifat yang dikagumi pada waktu itu, namun Kristuslah yang telah menjadi teladan tertinggi daripadanya. Yesus sebagai Anak Allah memberikan teladan menjadi seorang yang rendah hati dan tidak sedikitpun menganggap segala kemuliaan-Nya sebagai satu kesempatan untuk menyombongkan diri, kontras bukan?

Kita dapat menjadi seorang yang rendah hati apabila kita dapat ‘mengenal diri’ kita sendiri. Seorang bernama Bernard berkata: Sifat rendah hati itu adalah sifat yang membuat manusia sadar akan ketidaklayakannya, sebagai akibat dari pengenalan yang paling dalam akan dirinya sendiri. Ketika kita menyadari siapa diri kita sebenarnya di hadapan Tuhan, apakah mungkin masih ada hal yang dapat kita banggakan bahkan sombongkan?

Pada suatu persekutuan doa di sebuah gereja, untuk mendorong jemaat supaya terlibat dalam pelayanan yang beraneka ragam, Bapak pendeta mengatakan bahwa setiap orang harus memandang gereja itu seperti sebuah lokomotif uap. Kemudian dia meminta setiap orang yang hadir untuk menyebutkan bahwa dirinya ingin menjadi seperti bagian mesin yang mana. Seorang berpikir ingin menjadi seperti peluit yang membunyikan tanda bahwa lokomotif itu sedang lewat. Seorang yang lain merasa ingin menjadi bel yang ditempatkan di bagian atas dan terus-menerus dibunyikan. Seorang lainnya memilih menjadi roda penggerak, lainnya lagi ingin menjadi lampu besar, dan yang lain lagi ingin seperti klep penutup.

Akhirnya pendeta itu bertanya pada charlie yang sudah tua, yang sejak tadi duduk dengan tenang dan dengan sikap rendah hati di sebelah sudut ruangan, “Engkau ingin menjadi apa?”

“Begini, pak pendeta,” jawabnya, “saya pikir mungkin saya hanya dapat melayani sebagai sepotong batubara. Kemudian jika tukang api memerlukan saya, dia dapat melemparkan saya ke dalam tungku perapian dan membakar saya untuk menjalankan mesin lokomotif itu.”

Sesungguhnya, Charlie telah mengetahui apakah yang dimaksud hidup dengan kerendahan hati.

Kecenderungan hati atau pikiran untuk menjadi seorang yang sombong terkadang memang lebih besar daripada keinginan untuk menjadi seorang yang rendah hati. Dengan kata lain, lebih mudah untuk menjadi sombong daripada rendah hati. Semakin banyak Tuhan mempercayakan talenta dan karunia kepada kita, semakin besar pula ‘godaan’untuk menjadi sombong. Oleh karena itu, marilah ketika kita menyadari ‘nilai lebih’ yang diberikan oleh Tuhan itu ada di dalam diri kita, (berapa pun jumlahnya) janganlah itu membuat kita menjadi sombong atau tinggi hati.

Mungkin kita sebagai pelajar yang pandai, usahawan yang berhasil, seorang yang sangat terampil dan berjiwa seni, seorang petani/pedagang yang berhasil, atau apapun ‘kelebihan’ dan ‘keberhasilan’ yang ada pada kita. Dengan itu semua, biarlah kita tetap menjadi seorang yang rendah hati, merasa bahwa sebenarnya kita “tidak memiliki apa-apa.”

Seorang petani yang bijaksana mencabut lalang pada waktu lalang itu masih muda supaya jangan menyebarkan benih dan menjadi semakin banyak. Oleh karena itu, hendaklah kita waspada terhadap pikiran yang congkak, mengakuinya, dan menyingkirkannya. Jika suatu pikiran yang congkak kita biarkan, maka pikiran itu akan menjadi seperti seekor ular yang berbisa bagi kita. Tetapi marilah kita merendahkan diri di hadapan Allah, datang pada salib Kristus dan menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam kristus Yesus. Seperti yang tertulis dalam Filipi 2 : 5 – 8, biarlah dengan teladan Kristus ini, selalu mengingatkan dan mendorong kita untuk senantiasa merendahkan diri, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar