Akibat akibat Hedonisme
Manusia sangat antusias terhadap adanya hal-hal yang baru.
Cinta Diri Sendiri
Individualistis dan nafsu telah merasuki manusia modern pada saat ini. Begitu juga sikap untuk meraih kenikmatan yang berlebihan sangat kental mewarnai kehidupan pada zaman ini. Inilah pola hidup hedonis. Hidup saling gotong-royong dan bantu membantu yang merupakan ciri khas bangsa
Ir. Herlianto mengatakan, “Para pengikut Epikuros tidak percaya bahwa keterlibatan seseorang kepada masyarakat dapat memberikan kebahagiaan bagi dirinya, karena itu orang yang berhikmat menghindari tanggung jawab kemasyarakatan sebanyak mungkin.” Ini menunjukkan dengan jelas arah pemikiran yang menuju pada individualisme dan selfishness (cinta diri). Seseorang menggabungkan diri dengan sesamanya karena hal itu memberikan keuntungan padanya, dan bila keuntungan itu sudah tidak diperolehnya, maka ia tidak membutuhkan kebersamaan itu lagi, ini menunjukkan sikap self interest (mencari kepentingan sendiri).
Materialistis
Akibat lain yang timbul dari hedonisme adalah materialistis. Rick Wilkerson mengatakan bahwa, “Materialistis ialah penghargaan yang terlalu tinggi terhadap harta benda dan barang-barang material lainnya.” Sesungguhnya mereka memandang bahwa nilai tertinggi di dunia ini ada dalam materi (benda). Kalau demikian dapatlah diketahui bahwa betapa kuatnya hasrat untuk memiliki barang-barang untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan bagi para hedonis ini. Malcolm Brownlee mengatakan bahwa, “hasrat untuk mendapat barang-barang dan uang dirangsang oleh pola hidup konsumtif masa kini sehingga nilai-nilai moral diancam.” Menghemat, hidup sederhana, kebaikan hati dan kemurahan hati makin berkurang. Hidup mewah, pemborosan, dan ketamakan makin bertambah. Karena hasratnya untuk mendapat barang-barang, banyak orang menjadi kurang peka kepada kebutuhan sesamanya dan kurang percaya kepada Allah. Orang-orang kristen juga hidup di tengah-tengah suatu peradaban yang duniawi, dan ada begitu banyak tekanan untuk menyesuaikan diri dengan situasi ini. Richard Foster mengatakan dalam bukunya Money, Sex and Power,
“Pemborosan yang menuruti kata hati merupakan suatu keranjingan jaman modern. Keinginan untuk mempunyai lebih, lebih, dan lebih lagi, jelas merupakan suatu psikosis, hal ini jelas melarikan diri dari kenyataan.”
Jurang antara kemiskinan dan kemewahan semakin melebar dalam kecepatan yang menggelisahkan. Sesungguhnya para hedonis memandang materialisme merupakan nilai tertinggi di dunia ini dan itu ada dalam materi saja. Tidak ada jiwa, tidak ada roh, tidak ada kehidupan kekal, bahkan tidak ada Tuhan.
Seks Bebas
Dewasa ini kita sering mendengar istilah “free sex” atau hubungan seks bebas. Bergonta-ganti pasangan dalam berhubungan seks, guna mendapatkan kenikmatan atau kebahagian.
Dicontohkan oleh RB Yoga Kuswandono bahwa, “adanya ayam kampus” (suatu pelacuran terselubung yang dilakukan oknum mahasiswa-mahasiswi), karena profesi ini paling enak dan gampang menghasilkan uang untuk memenuhi syarat remaja gaul dan funky.
Salah satu fungsi seks adalah kenikmatan. Kalau kenikmatan menjadi maksud satu-satunya untuk seks, maka hubungan seksual akan menjadi dangkal dan bahkan merugikan. Kenikmatan yang terbesar diperoleh kalau kenikmatan bukan fungsi pokok. Kenikmatan yang paling indah diperoleh dalam hubungan seksual adalah yang mewujudkan persatuan cinta kasih antara dua orang, bukan bergonta-ganti pasangan yang dilakukan oleh sebagian besar para hedonis.
Mentalitas “Instan”
Selain beberapa fenomena yang terjadi di atas, ada kecenderungan untuk memilih lebih baik hidup enak, mewah, dan serba berkecukupan tanpa bekerja keras. Titel “remaja yang gaul dan funky” baru melekat bila mampu memenuhi standar tren saat ini. Artinya mentalitas instan membawa manusia untuk tidak usah melalui proses berbelit-belit, dalam hal mendapatkan suatu kebahagian. Jika ternyata ada jalan tikus yang enak untuk dilalui, maka dilewati saja tanpa mempedulikan salah atau tidak. Itulah yang menjadi prinsip untuk mendapatkan sesuatu.
Segalanya bisa diperoleh dengan uang dan kekuasaan. Bila demikian, otomatis semua urusan beres. Akhirnya, semboyan non scholae sed vitae discimus (belajar untuk bekal dalam menjalani kehidupan) pudar dan menghilang, kata, RB Yoga Kuswandono dalam Suara Harian Merdeka. Karena yang diutamakan bukan proses melainkan hasil. Jika bisa memperoleh hasil dengan cara simpel walaupun salah, mengapa tidak dilakukan? Untuk apa harus melalui proses panjang dengan pengorbanan, kalau toh hasilnya sama.
Koentjaraningrat juga menulis bahwa, dalam masyarakat kita sekarang timbul mentalitas yang suka menerobos yaitu, “nafsu untuk mencapai tujuannya secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara selangkah demi selangkah.” Kecenderungan modern yang mengikuti paham hedonisme ini sangat berbeda dengan tradisi-tradisi adat
Kalau seseorang dapat mencapai keinginannya dengan segera tanpa usaha atau kesusahan, maka dia mulai kehilangan kemampuan untuk menguasai kehidupannya sendiri. Akhirnya dia kehilangan kemampuan untuk berusaha dengan tekun dan dan memikul penderitaan.
Dan inilah yang terjadi saat ini bagi para hedonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar