Selasa, 20 April 2010

Apakah Neraka itu?


Pertanyaan: Saya tinggal di Amerika,dan tampaknya bahasa kita dikacaukan dengan pernyataan ”neraka”. Berulang kali saya mendengar kata yang mengandung arti beragam ini dipergunakan dalam segala bentuk percakapan. Orang-orang berkata: ”Persetan..”atau ”Astaga ...” atau seruan yang menyatakan kemarahan. Kadang-kadang, beberapa orang, meskipun tidak berhubungan dengan biro perjalanan, mendorong saya untuk ”pergi ke neraka” (ungkapan makian). Saya rasa saya tidak mau pergi ke neraka, karena saya sudah mendengar bahwa Setan tinggal di sana, tetapi jika saya hanya ingin melewatinya, di manakah tempat itu sesungguhnya? Berdasarkan perkataan orang, saya menduga bahwa ”neraka” adalah suatu kata yang dipakai dalam Alkitab, dan jika memang demikian, apakah ”neraka” itu?
Sebenarnya, pada saat ini, tidak ada tempat seperti itu, selain kota kecil di Michigan yang bernama Hell, di mana kadang-kadang kota itu tertutup salju. Namun itu sama sekali tidak menyerupai gambaran “Neraka” yang dikemukakan oleh banyak orang Kristen yang keliru mempercayai bahwa itu adalah suatu tempat yang terdapat api yang kekal di mana “orang mati yang hidup” (???) disiksa selamanya dalam nyala api.
Juga, kata “neraka” tidak ditemukan dalam teks asli Alkitab. Dalam King James Version, Anda akan menemukan terjemahan dari kata-kata Yunani hades dan gehenna, tetapi terjemahan modern mengakui bahwa ”neraka” adalah terjemahan yang tidak tepat untuk hades, dan lebih tepatnya diterjemahkan ”kuburan.” Akan tetapi, terjemahan modern pun kadang kala melakukan kesalahan dalam menerjemahkan kata Yunani gehenna sebagai ”neraka.”
Jadi bagaimana kata “neraka” begitu meresap dalam kebudayaan kita? Secara singkat, kami mengarahkan Anda pada dua buku yang luar biasa yang akan menunjukkan kepada Anda secara jelas dan terperinci, tentang apa yang dikatakan Firman Tuhan mengenai pokok yang paling penting ini. Buku kami, Is There Death After Life? (Apakah Ada Kematian Setelah Kehidupan?), mengemukakan tentang apa yang dikatakan Firman Tuhan mengenai kematian dan akibatnya, sedangkan The Fire That Consumes (Nyala Api yang Menghanguskan), oleh Edward Fudge (211 halaman) merupakan sebuah penguraian terperinci tentang “kekekalan bersyarat”, termasuk asal mula ide “neraka” sebagai tempat penyiksaan kekal bagi orang jahat.
Salah satu taktik Setan untuk membuat Kekristenan tampak sebagai sesuatu yang bodoh adalah memperkenalkan ide yang janggal (yaitu, ide yang dapat dianggap janggal karena ide itu tidak masuk di akal) ke dalam teologi. Berhubung dengan pokok ini secara keseluruhan, berikut ini ada dua kesalahan yang masuk ke dalam Kekristenan dari pandangan Hellenistic (Yunani):
• Tidak ada “kematian” yang sesungguhnya (kamus menjelaskannya sebagai “akhir, atau ketiadaan, kehidupan”)
• Ketika seseorang “meninggal,” lalu dia hidup dalam bentuk yang sadar, tidak berwujud yang disebut “jiwa” atau “roh”)
Dusta bahwa manusia tidak dapat mati (diperkenalkan oleh Iblis dalam Kejadian 3:4 dan kemudian dipercayai oleh orang-orang Yunani) memperluas pendapat yang sama bahwa harus tersedia sebuah tempat yang kekal untuk orang yang baik dan tempat yang lain untuk orang yang jahat. Maka timbullah dusta berikut:
• Seorang mati pergi entah ke “surga” atau “neraka” dan tinggal selamanya di sana.
• “Neraka” adalah suatu tempat penyiksaan kekal di dalam nyala api.
• Api adalah pengawet (siapa lagi yang percaya ini?)
Ironis bahwa sebagian besar orang Kristen percaya Adolph Hitler akan memiliki hidup yang kekal. Mungkin Anda berpikir: “Apa?! Tidak.” Tetapi pikirkanlah kembali – jika Hitler disiksa selamanya dalam api, apakah dia atau apakah dia tidak memiliki hidup yang kekal? Itu adalah hidup yang tidak menyenangkan, tetapi itu hidup yang kekal, bukan? Sebaliknya, Roma 6:23 berkata: “Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Tuhan adalah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuan kita.” Tuhan tidak pernah berkata bahwa upah dosa adalah penyiksaan kekal. Tidak, Dia berkata bahwa hukuman dosa adalah hidup seseorang itu diakhiri.
Penting untuk disadari bahwa tidak ada ayat dalam Alkitab berkata bahwa “jiwa” atau “roh” hidup dengan sendirinya. Tidak ada ayat yang berkata bahwa “neraka” adalah suatu tempat penyiksaan kekal di dalam nyala api. Dusta ini berasal dari musuh utama Tuhan, dan menerobos ke dalam Kekristenan melalui penerjemahan yang salah dan pencampuran kebudayaan dan keyakinan Yunani dengan kebenaran yang ada didalam Firman Tuhan.
Jika dipikirkan secara logis, apakah hal itu tampak adil bagi Anda jika Tuhan, yang dikatakan oleh Alkitab adalah kasih, akan selamanya memberikan penderitaan yang sangat menyiksa dalam api yang terus menyala kepada orang jahat? Pikirkanlah – jika “selamanya” disamakan dengan sebuah pesta, penyiksaan 50 juta tahun adalah sebuah cemilan ringan. Bukankah sebagian besar pemikir rasional akan menyimpulkan bahwa, meskipun untuk contoh orang jahat yang selebriti seperti Hitler atau Bin Laden, hukuman itu sama sekali tidak adil? Tentu saja. Keadilan tidak terlayani untuk kejahatan yang sangat besar seperti itu, dan hal itu sungguh menyedihkan di mana keyakinan yang salah ini telah membuat semakin banyak orang berpaling dari Tuhan karena mereka diajarkan bahwa Tuhan akan melakukan hal seperti itu.
Almarhum Sidney Hatch secara tepat mengungkapkan betapa tidak masuk akal pemikiran tentang Tuhan yang adil yang menyiksa orang secara kekal dalam nyala api yang menolak percaya kepada-Nya:
“Masyarakat yang beradab merasa ngeri terhadap pelecehan dan penyiksaan terhadap anak-anak atau orang dewasa. Bahkan dimana diberlakukannya hukuman mati, diusahakan untuk menerapkannya semanusiawi mungkin. Jadi apakah kita pikir bahwa Tuhan yang kudus – Bapa surgawi kita – kurang adil dari pengadilan manusia? Tentu saja tidak.”
Dan almarhum Uskup Lutheran Swedia John Persone menulis:
“Bagi saya adalah hal yang tidak dapat dijelaskan bagaimana seseorang yang meyakini pandangan ortodoks [penyiksaan kekal] dapat merasakan momen yang menyenangkan dalam hidup ini. Dia terus menerus bergaul dengan orang-orang yang memiliki takdir akhir disiksa selamanya ... Bagi saya jauh lebih tidak dapat dimengerti bahwa orang ‘ortodoks’ seperti itu dapat mengharapkan momen bahagia di dalam kekekalan, sedangkan dia tahu bahwa keadaannya yang berbahagia berlangsung bersamaan dengan penyiksaan dan penderitaan yang tidak berakhir dari jutaan orang yang terkutuk. Dapatkah dia, jika dia mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri, ya, meskipun dia hanya memiliki sedikit kasih manusia dan bukan semata-mata orang egois, bisa merasakan kebahagiaan?
Pernyataan tepat, setuju?
Pikirkan sejenak tentang api. Apakah yang terjadi jika api menyentuh sesuatu? Apakah yang Anda lakukan jika Anda pulang ke rumah dan menemukan rumah Anda terbakar? Apakah Anda merasakan adanya kebutuhan mendesak? Atau Anda berkata, ”Hei, mari pergi nonton film, dan ketika kita pulang, kita akan memanggil Pemadam Kebakaran. Tidak perlu tergesa-gesa, karena kita tahu bahwa rumah kita akan terbakar selamanya.” Tidak ada yang terbakar selamanya, dan sebuah penelitian kata yang sederhana tentang ”api” dalam Alkitab menunjukkan bahwa tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan sesuatu yang tidak berguna, misalnya jerami, dan hal-hal yang jahat, misalnya orang jahat, roh jahat dan Setan (Maleakhi 4:1 adalah contoh yang terkenal).
Artikel tentang “neraka” ini bukanlah untuk menjelaskan kebenaran alkitabiah bahwa kematian adalah akhir kehidupan, dan mereka yang meninggal tidak lagi ada dalam bentuk apa pun. Hal itu menyebabkan timbulnya anggapan yang salah bahwa “neraka” adalah suatu tempat di mana orang “mati” hidup dan sadar. Dalam Firman-Nya, Tuhan secara ilustratif memilih metafora kata “tidur” untuk menggambarkan kematian. Mengapa? Karena tidur adalah suatu keadaan tidak sadar yang sementara yang berakhir ketika terbangun dari tidur. Sama halnya dengan kematian, untuk mereka yang percaya kepada Yesus Kristus.
Di mana tidak ada kesadaran, di situ tidak ada kesadaran akan berlalunya waktu. Oleh karena itu, kesadaran Rasul Paulus yang berikut adalah ketika dia melihat wajah Tuan Yesus ketika Dia datang. Hingga pada saat yang agung itu, Paulus, sama seperti halnya dengan semua orang yang sudah meninggal dan ”kembali menjadi debu”, tidak lagi ada. Dia tidak akan ada lagi kecuali Yesus Kristus sungguh mati, bangkit dari kematian, naik ke surga, dan datang kembali untuk membangkitkan orang-orang Kristen yang sudah mati. 1 Tesalonika 4:18 berkata bahwa kebenaran ini adalah satu-satunya dasar bagi penghiburan sejati untuk mereka yang berdukacita. Seberapa pentingkah pokok ini? Ini adalah masalah hidup dan mati.
Dalam Perjanjian Lama, kata Ibrani sheol berarti ”keadaan, atau tempat orang mati,” dan biasanya diterjemahkan sebagai ”kuburan” (lihat Maz. 6:6, 16:10, 49:15, 89:49 dsb). Karena secara harfiah tidak ada tempat seperti itu, kata itu dapat juga diterjemahkan sebagai “alam kubur.” Orang-orang Ibrani mengetahui bahwa manusia adalah makhluk yang atau hidup atau mati (bagi kami, ini jelas). Mereka mengerti bahwa manusia tidak memiliki jiwa, tetapi sebaliknya, seperti Kejadian 2:7, manusia adalah ”jiwa” yang hidup (nephesh), yaitu, orang hidup. Ketika dia mati, maka dia adalah jiwa yang mati (contohnya Im. 19:28, 21:1; Bil. 5:2, 6:6,11), yaitu orang mati.
Bertentangan dengan pengajaran Perjanjian Lama, sebagian besar orang Yunani percaya bahwa manusia adalah “jiwa yang abadi,” di mana mereka memandang sebagai inti non-jasmani dari keberadaannya yang terperangkap dalam penjara tubuh yang sementara hingga tiba momen yang bahagia ketika tubuhnya “mati” dan “jiwanya” dapat terbang bebas menuju Gunung Olympus, tanah Shades, atau tempat yang lain.
Karena keyakinan ini, orang-orang Yunani tidak mempunyai kata yang mengartikan pemikiran yang diungkapkan oleh kata Ibrani sheol. Kata yang paling mirip adalah hades, dan itulah yang dipilih oleh mereka yang menulis Septuaginta (terjemahan Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani) sebagai kata yang sama dengan sheol. Seperti dengan kata sheol dalam Perjanjian Lama, beberapa versi Alkitab Inggris secara keliru menerjemahkan kata Yunani hades sebagai ”neraka” dalam Perjanjian Baru [Untuk penyelidikan yang lebih terperinci tentang arti sheol dan hades, lihatlah kata “neraka” dalam E.W.Bullinger A Critical Lexicon and Concordance to the English and Greek New Testament (Zondervan Pub. Co., Grand Rapids MI)].
Dampak dari penerjemahan sheol dengan kata hades ternyata fatal. Dalam sheol, semua orang mati, tetapi dalam bahasa dan budaya Yunani, semua orang di Hades hidup. Jadi, melalui tulisan pena dari penerjemah Septuaginta, semua orang mati (dalam sheol) diberikan hidup setelah mati dalam hades. Orang Ibrani yang berbahasa Yunani, membaca Alkitab Yunani mereka, akibatnya tentu menjadi percaya bahwa ”orang mati itu hidup” (karena tertulis di dalam Alkitab mereka). Ini menjelaskan mengapa, pada masa Yesus, banyak orang Yahudi percaya bahwa jiwa orang-orang yang mati hidup setelah orang itu mati, dan mengapa Yesus menyampaikan perumpamaan yang diambil dari keyakinan itu (Lazarus di ”pangkuan Abraham” -- Lukas 16. Untuk penjelasan menyeluruh dari hal ini, lihat ”Difficult Scriptures Explained.”
Kita harus memperhatikan bahwa kata Inggris “neraka” berasal dari kata Inggris kuno yang berarti “tersembunyi.” Definisi pertama dalam Webster’s Third New International Dictionary adalah ”suatu tempat atau keadaan orang mati atau orang yang terkutuk; biasanya di bawah tanah” (itulah ide dari ”tersembunyi”). Definisi kedua adalah ”suatu tempat atau keadaan sengsara, tersiksa atau jahat.”
Ide bahwa “neraka” adalah suatu tempat penyiksaan kekal terjadi karena kata hades memuat semua konotasi mytologi Yunani, di mana Hades adalah dewa dari dunia bawah, suatu tempat di mana jiwa-jiwa orang mati berada untuk disiksa. Sebagaimana Bullinger menulis dalam Lampiran 131 dari The Companion Bible:
“Perjanjian lama adalah sumber utama bahasa Ibrani. Tidak ada literatur di balik itu. Namun masalahnya sama sekali berbeda dengan bahasa Yunani. Kata Ibrani sheol adalah hal yang ilahi dalam asal kata dan penggunaannya. Kata Yunani hades adalah hal yang jasmani dalam asal kata dan kata itu diturunkan kepada kita seiring dengan perkembangan dari abad ke abad, di mana kata itu sudah memperoleh arti makna dan penggunaan yang baru.”
Firman Tuhan tentu berbicara tentang suatu tempat yang ada api di mana orang-orang jahat akan ”menjalani hukuman kebinasaan selama-lamanya, dijauhkan dari hadirat Tuhan” (2 Tes. 1:9). Ini adalah gehenna, kata Yunani yang dipakai penulis Injil dalam referensi terhadap apa yang disebut “lautan api.” Penting untuk diketahui bahwa tidak hanya orang jahat akan dibinasakan di sana, tetapi juga “kematian dan kerajaan maut” akan selamanya dibinasakan (lihat Why. 20:12-15).
Gehenna adalah kata Yunani untuk kata Ibrani “lembah Hinom,” suatu tempat pembuangan sampah di luar Yerusalem. Ketika Yesus memakai kata ini untuk menunjukkan tempat kebinasaan orang jahat di masa depan (misalnya dalam Mat. 10:28 – masih diterjemahkan dengan salah sebagai ”neraka” bahkan dalam versi Alkitab modern), semua yang mendengar Dia tahu betul apa yang dimaksudkan-Nya. Seperti catatan pada Matius 5:22 yang berkata:
“Kata Yunani adalah gehenna, yang berasal dari jurang yang dalam di sebelah selatan Yerusalem, “lembah Hinom.” Selama pemerintahan raja Ahas dan Manasye yang jahat, persembahan manusia kepada berhala bangsa Amon Molokh dilakukan di sana. Yosia menyatakan lembah itu najis karena penyembahan berhala dilakukan di sana (2 Raj. 23:10; Yer. 7:31,32; 19:6). Lembah itu terus menerus menjadi tempat pembakaran sampah dan kemudian menjadi lambang dari suatu tempat penghakiman terakhir.”
Seperti yang ditunjukkan oleh Edward Fudge dalam The Fire That Consumes:
“Penulis-penulis Perjanjian Baru memilih kata gehenna untuk menggambarkan nasib orang-orang yang terhilang hanya di dalam Injil, berbicara hanya kepada orang-orang Yahudi, dan hanya tertuju kepada orang-orang yang mengerti dengan geografi Yerusalem.”
Lautan api juga disebut “kematian kedua” (Why. 21:8). Apakah artinya itu? Firman Tuhan (God’s Word) dengan jelas menyatakan bahwa Tuan Yesus Kristus akan membangkitkan dari mati semua orang yang pernah hidup, dan ”mereka yang telah berbuat baik akan bangkit untuk hidup yang kekal, dan mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh. 5:29). Walaupun Adolph Hitler atau Saddam Hussein tidak mendapat ”pertobatan di saat terakhir”, suatu hari kelak mereka akan menghadap Tuan Yesus untuk mempertanggungjawabkan perbuatan jahat mereka, dan setelah itu akan dilemparkan ke dalam lautan api untuk dibinasakan. Mereka sudah pernah mati secara jasmani, dan mereka akan ”mati” lagi – selamanya binasa.
Menurut Anda apakah mereka yang mendengar Yesus berbicara tentang orang jahat yang dibakar dalam gehenna berpikir bahwa yang dimaksudkan Yesus adalah mereka akan dibakar selamanya? Tentu saja tidak, karena mereka tahu bahwa sampah yang dibawa ke pembakaran sampah tidak terus berada dalam api tanpa terbakar habis. Sebaliknya, sampah itu dibakar, dan tidak ada lagi. Yesus memakai kata gehenna untuk menggambarkan bahwa orang-orang jahat seperti sampah, yang hanya layak dibinasakan. Satu-satunya alasan mengapa api terus menyala adalah karena seluruh kota terus melemparkan sampah mereka ke tempat itu. Sama juga halnya, ketika pembakaran itu sudah melakukan tugasnya, lautan api sudah tidak ada lagi.
Jika Wahyu 20:10 terlintas di benak Anda sebagai suatu kontradiksi yang nyata terhadap apa yang sudah Anda baca sampai sejauh ini, itu bagus sekali – dan memang seharusnya demikian. Ayat itu berbicara tentang Iblis dan pengikutnya yang dilemparkan ke dalam lautan api dan “disiksa siang malam sampai selama-lamanya.” Akan tetapi, Alkitab tidak tertulis dalam bahasa Inggris, dan ketika kita menggali sedikit lebih dalam, kita melihat bahwa “selama-lamanya” dalam bahasa Yunani jauh lebih akurat “selama berabad-abad.” Untuk menyelaraskan dengan dekrit Tuhan dalam Kejadian 3:15 di mana Yesus pada akhirnya akan “meremukkan kepala” Iblis (yaitu membinasakan dia), Yehezkiel 28:18 menyatakan bahwa Iblis akan “menjadi abu”. Jelas sekali, sebagai imbalan yang sesuai atas perbuatannya yang jahat, ini akan memerlukan waktu yang lama sekali.
Beberapa orang Kristen membantah bahwa pembasmian itu bukan suatu ancaman yang tepat untuk menghentikan orang-orang, dan bahwa ancaman dibakar selamanya jauh lebih efektif terhadap dosa. Akan tetapi, ini adalah melihat Alkitab dengan cara yang salah. Tuhan berkata bahwa “kemurahan-Nya” yang memimpin orang-orang untuk bertobat (Roma 2:4), bukan ancaman kematian, meskipun itu mungkin lebih berhasil, karena umat manusia sudah diprogram untuk melakukan apa saja agar dapat tetap hidup. Jelaslah, pemikiran tentang kebinasaan jauh lebih menakutkan sebagian besar orang dari pada pemikiran tentang hidup walaupun di bawah kondisi yang mengerikan. Apa yang Tuhan lakukan adalah memberikan kasih-Nya yang sangat besar melalui Anak-Nya, dan mendorong orang untuk percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal.
Jika Tuhan berupaya memakai ancaman penyiksaan kekal sebagai penghalang untuk berbuat dosa, Yohanes 3:18 mungkin tertulis: “Karena begitu besar kasih Tuhan akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak dibakar selamanya, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Dan Tuhan dapat menjelaskannya dalam ayat-ayat lain juga. Fakta bahwa Alkitab hanya berkata ”binasa” menunjukkan bahwa orang yang tidak selamat akan mati, jadi mereka binasa. Apa yang dihadapi mereka yang menolak anugerah keselamatan Tuhan melalui iman dalam Yesus Kristus adalah kebinasaan. Mereka akan dibinasakan. Dan kita, karena anugerah Tuhan dan pekerjaan Yesus Kristus, akan hidup bahagia selamanya.
Bagi mereka yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuan dan Juruselamat (believe in Jesus Christ as Lord and Savior), Dia sudah membayar harga untuk dosa mereka (paid the price for their sin) dan Dia akan memberikan anugerah kehidupan di masa depan. Mereka yang menolak untuk percaya kepada-Nya akan membayar hukuman dosa mereka sendiri. Bagaimana caranya? Dengan mati selamanya di dalam lautan api. Kehidupan kekal adalah – kehidupan tanpa akhir, dan kematian kekal adalah kebinasaan tanpa pengharapan – kebinasaan permanen. Ini adalah keadilan Tuhan yang sempurna, dan tentunya ini adalah masalah hidup dan mati.

Mengeluh untuk Pembebasan
Pelajaran tentang Roma 8:19-28
Oleh John Lynn & John Schoenheit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar