Minggu, 05 April 2009

Engkau berharga Di Mata-Ku



Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, Aku ini mengasihi engkau... (Yesaya 43:4)

Malam itu betul-betul menjadi malam penuh pergumulan bagi Richard. Pemuda berusia 30-an ini berada di sebuah persimpangan jalan. Semuanya seakan-akan telah hilang, mulai dari keluarga, saudara hingga sahabat-sahabat dekatnya. Semenjak usahanya bangkrut beberapa bulan lalu, Richard mulai kehilangan semangat hidup. Hal ini diperburuk dengan semakin menjauhnya satu per satu sahabat dekatnya. Orang-orang yang semula dikira sahabat sejati ternyata hanya dekat tatkala hidupnya senang dan bergelimangan harta.

Yang membuat Richard bertambah sedih adalah kedua anak serta istrinya pun secara perlahan-lahan mulai menjauh dari kehidupannya. Sejak dua minggu lalu, istri Richard mengungsi ke rumah orang tuanya sambil membawa serta kedua anaknya. Kini, tinggal Richard seorang diri, terkurung di sebuah kamar kecil yang dikontraknya. Kepulan asap rokok menemani malam penuh kebimbangan itu.

"Semuanya telah hancur. Semuanya telah hilang. Rasanya tidak ada gunanya lagi aku hidup," kata Richard dalam hatinya. Air mata kemudian menetes membasahi pipinya itu. Richard kemudian membuka segel racun serangga yang baru dibelinya di warung sebelah. Ia ingin segera mengakhiri hidupnya. "Mati rasanya pilihan yang terbaik bagiku. Dengan kematian, aku tidak lagi menjadi beban bagi orang lain, terutama keluargaku," pikirnya.

Ketika racun serangga dituangkan Richard ke sebuah gelas, ia mulai merasakan hal yang aneh dalam hatinya. Suara hatinya seolah berbisik, "Kasihan anak-anakmu Richard. Mereka akan kehilangan seorang ayah..." Suara ini kemudian mengusik hatinya tapi tekadnya sudah bulat. Beberapa saat kemudian kegelisahan luar biasa kembali menghinggapinya. Richard kemudian mengambil sebuah notes yang berada dalam tasnya. Ia berencana menulis surat perpisahan buat istri dan anak-anaknya. Tidak disangka tangan kanan Richard saat itu memegang sebuah buku. Ya, sebuah buku yang tampaknya tidak asing namun telah lama tidak disentuhnya. Buku itu bernama Alkitab.

Bayangan masa lalu pun mulai muncul di benak Richard. Ia ingat persis bagaimana ia bertemu seorang gadis -yang sekarang adalah istrinya- ketika aktif dalam pelayanan pemuda di sebuah gereja, sekitar 5 tahun silam. Richard menggenggam erat Alkitab tersebut lalu suara hatinya seakan-akan menyuruhnya untuk membuka buku suci tersebut. Dengan ogah-ogahan, ia kemudian membukanya. Betapa terkejutnya Richard ketika halaman yang dibukanya itu ternyata memuat firman Tuhan yang betul-betul mengena di hatinya: "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, Aku ini mengasihi engkau (Yesaya 43:4). Seketika itu juga Richard seolah kembali menemukan hidupnya. Ia merasakan ada suatu aliran kasih mesra yang mengalir dalam hatinya.

Richard tidak kuasa menahan emosi batinnya. Ia menangis tersedu-sedu lalu berlutut dan berdoa, "Tuhan, jika sungguh aku ini berharga di mata-Mu, bantulah aku agar sanggup menghadapi semuanya ini." Keheningan malam itu membuat Richard mampu menangkap sebuah suara lembut di hatinya, "Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, anak-Ku." Richard kemudian membuang racun serangga itu dan berkomitmen untuk bangkit kembali. Kini, ia berhasil kembali membangun bisnisnya dan hidup bahagia bersama keluarganya kembali.

Kisah yang dialami Richard ini tampaknya juga dialami banyak orang lain di dunia ini. Dari tahun ke tahun kita bisa melihat dengan jelas, orang-orang yang bunuh diri karena merasa hidupnya tidak lagi berharga. Konon setiap tahunnya terdapat 1 juta orang yang bunuh diri di seluruh dunia. Betapa menyedihkan!

Peristiwa yang dialami Richard juga mengingatkan saya akan pengalaman pahit yang saya alami sekitar 12 tahun silam. Sebagai anak perantau di Bandung, saat itu saya benar-benar putus asa setelah usaha orang tua di Papua sana bangkrut total. Saya bukan saja terancam putus sekolah namun juga mulai kehilangan arah masa depan saya. Di saat sulit itu, saya kemudian mengalami infeksi tulang belakang yang nyaris melumpuhkan saya. Hampir saja saya bunuh diri karena tidak tahan lagi. Namun seorang sahabat mengingatkan bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita terus menderita. "Tuhan tidak pernah menjanjikan sebuah hidup yang selalu penuh kemudahan namun Ia berjanji tidak akan pernah meninggalkan kita," katanya.

Keyakinan seperti itulah yang membuat saya bangkit dan mampu mengatasi berbagai persoalan hidup bersama-Nya. Perlahan-lahan namun pasti tangan Tuhan bekerja nyata dalam hidup saya. Dalam waktu beberapa bulan kemudian, saya memperoleh orang tua angkat dan seorang pacar yang sekarang menjadi istri saya.

Bercermin dari kisah di atas, saya ingin menegaskan kembali: tidak peduli seburuk apa pun keadaan kita, Tuhan tetap menyayangi kita dan akan membantu kita untuk mengatasinya. Tidak peduli apakah seisi dunia telah meninggalkan kita, Tuhan tetap akan menjadi sahabat setia kita. Pertanyaannya sekarang, bersediakah kita membuka hati kita untuk-Nya?

Artikel ini dikutip dari Buku Melangkah Maju di Masa Sulit (Stand Strong) karya Paulus Winarto, Penerbit Andi 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar