Minggu, 16 Agustus 2009

Sudahkah Kita Sungguh-Sungguh MERDEKA?


“Grace is not an excuse to sin, but it is the power not to!“
Di tiap bulan Agustus, terdapat beberapa negara merayakan hari kemerdekaannya, salah satunya negara Indonesia kita yang tercinta ini. Sebagai warga negara Indonesia, kita bangga punya pemerintahan yang mandiri terlepas dari kendali bangsa lain, sehingga ke dalam kita punya keleluasaan mengatur diri kita sendiri, dan di luar kita berdiri sejajar dengan negara-negara lain dalam pergaulan internasional.

Selain sebagai warga negara Indonesia, kita juga adalah warga Kerajaan Sorga. Masing-masing status ini diperoleh sebagai hasil dari yang disebut sebagai “pembebasan” yang membuahkan kemerdekaan. Kemerdekaan Negara Indonesia dan kemerdekaan seorang Kristen yang sejati diperoleh melalui pengorbanan dan curahan darah. Kemerdekaan Indonesia diraih melalui perjuangan para pendahulu-pendahulu kita yang rela mati demi terbebasnya bangsa Indonesia dari kolonialisme. Sama dengan itu, kita juga dibebaskan dari belenggu dosa karena Kristus rela menderita bahkan mati. Film “Passion of Christ” memberi kita gambaran tentang betapa menderitanya Kristus di hari penyaliban-Nya.

Namun, dari kesamaan tersebut, terdapat perbedaan yang substansial antara kedua kemerdekaan dimaksud, yakni bahwa (a) kemerdekaan Negara Indonesia diraih (achieved) sebagai hasil perjuangan rakyat Indonesia sendiri, bukan diberikan oleh bekas penjajah, dan sebaliknya, (b) kemerdekaan kita dari belenggu dosa, semata-mata adalah hasil anugerah Tuhan bagi kita yang kita terima (received) secara cuma-cuma.

Kemerdekaan Semu
Hidup di alam kemerdekaan sekarang ini memang memberi banyak kenyamanan. Apalagi di dalam dunia globalisasi saat ini. Globalisasi dan teknologi telah memberi manusia modern akses ke suatu produk yang disebut “kebebasan” yang lebih besar untuk memilih. Setiap orang pasti mendambakan kebebasan (dalam batas tertentu secara subjektif). Kebebasan memberi wadah dan kepuasan bagi manusia untuk menyalurkan daya cipta, rasa dan karsanya. Kebebasan memang menjadi hak asasi manusia.

Tetapi, “kebebasan” dapat berubah menjadi “kebablasan” apabila, dalam hubungan sosial, kebebasan yang ada tidak menghormati kebebasan orang lain. Kebebasan manusia yang merupakan suatu potensi, justru akan menjadi “krisis” apabila tidak dibatasi. Oleh karenanya, kebebasan saya harus dibatasi oleh kebebasan Anda, dan sebaliknya. Apabila tidak, manusia akan menjadi “serigala” bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Kebebasan akan mencapai tahap paling tragis dan ironis apabila kebebasan justru menciptakan “penjara” bagi yang bersangkutan. Tanpa kita sadari, kita pernah atau mungkin kerap terperangkap dan terbelenggu dengan “kebebasan” kita, apabila kita sudah tidak dapat berkata “tidak” untuk suatu pilihan dalam kebebasan dimaksud. Berapa banyak manusia yang sangat menikmati “kebebasan” yang melekat padanya sehingga ia sudah begitu tergantung pada “kebebasan” itu sendiri.

Mereka yang katanya hidup “merdeka” sehingga memilih menjalani suatu kebiasaan buruk tanpa ada yang menghalangi atau membatasi, hanya justru akan menjadi narapidana dari penjara “kebebasan”nya sendiri apabila ia tidak dapat lagi menolak melakukan hal yang sama. Dalam hal demikian, it’s not about freedom—it’s about addiction.

Dosa memang manis. Tetapi “ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut” (Amsal 14:12; 16:25). Dunia tanpa Kristus ibarat sementara berbaris pada rute sedemikian.

Kemerdekaan oleh dan dari Kristus
Maut: musuh terbesar manusia
Adakah ketakutan manusia yang lebih besar dari ketakutan menghadapi maut?
Semua orang pasti punya rasa takut karena rasa takut memang manusiawi. Yang beda hanyalah tingkat dan jenis rasa takut. Ada ketakutan yang rasional, ada pula yang sudah tidak rasional. Rasa takut membantu manusia untuk terhindar dari bahaya yang lebih besar. Takut kena api mencegah orang untuk tidak merasakan sakit bila terbakar. Ada yang takut untuk hal-hal yang baru sehingga orang tersebut tidak berani mengambil keputusan tegas melakukan perubahan.

Tetapi, seberani-beraninya seseorang, orang tersebut, sepanjang dia belum mengenal dan menerima Kristus sebagai Juru Selamatnya, pasti akan mengalami ketakutan saat ajal menjemput dia. Bahkan, kata orang, ada orang yang masih dalam proses kematiannya sudah mengalami penderitaan secara spriritual, umpama, karena ketika hidup ia akrab dengan okultisme (ilmu hitam).

Pada umumnya orang takut mati, antara lain mungkin karena, dia terlalu mengasihi dunia ini, atau dia tidak mengetahui ada apa di balik kematian, atau bahkan dia sadar bahwa dia pantas mengalami penghukuman yang menanti dia setelah kematiannya dan dia tidak menemukan atau tidak mau menerima jalan keselamatan kekal melalui Kristus hingga kematiannya.

Maut: musuh terakhir manusia (I Kor.15:26)
Di dalam menjalani proses kehidupan di dunia ini, setiap orang pasti menghadapi kesulitan, baik pergumulan batin di dalam dirinya maupun ketegangan dengan faktor-faktor di luar dirinya. Ada yang melihat “kesulitan” secara positif di mana setiap “kesulitan” ditanggapi sebagai tantangan bahkan peluang untuk menjadi makin baik. Tetapi ada juga mereka yang melihat dari sudut lain dan menjadikan “kesulitan” sebagai musuh, termasuk orang-orang yang menciptakan “kesulitan” bagi dia. Tetapi, pada umumnya segala hal yang mengancam eksistensi atau kemapanan seseorang akan selalu dilihat sebagai “musuh”, terlepas dari apakah yang bersangkutan akan menghadapi, melarikan diri atau menyikapi dengan cara lain atas “musuh” nya tersebut.

Di dalam konteks waktu, rangkaian proses upaya “penaklukan” musuh apapun tadi akan berujung pada kenyataan absolut bahwa ada “kematian” menanti setiap orang yang menjadi musuh terakhir untuk dihadapi, kalau tidak bisa ditaklukkan. Pada umumnya, orang berusaha mengelak atau “menunda” datangnya kematian dan ingin menikmati umur panjang (namun, lucunya, tidak mau jadi tua). Tapi, setiap orang sudah ditetapkan untuk mati. Bahkan kematian dapat datang tanpa peringatan (Amsal 27:1). Semua manusia pada dasarnya berbaris antri menunggu saat ajal menjemput. Ada yang lama berbarisnya, ada yang relatif singkat.

Tidak ada manusia di dunia ini yang dapat mengalahkan kematian. Kenapa? Karena semua manusia sudah berdosa (Roma 3:10, 23) dan upah dosa adalah maut (Roma 6:23). Semua manusia pasti mengalami kematian. Manusia telah ditetapkan untuk mati sekali saja dan kemudian dihakimi (Ibrani 9:27).

Apabila sejarah manusia hanya sampai di situ, sorga tidak akan pernah dihuni oleh manusia dan sejarah manusia akan berakhir tragis: setelah dicipta menurut rupa ALLAH dan menikmati segala ciptaan lainnya dari ALLAH yang luar biasa selama hidupnya, manusia akan berakhir pada ruangan penghukuman kekal.

Puji syukur kepada ALLAH! ALLAH kita adalah ALLAH yang “mengosongkan diri” dan menyangkal diri-Nya bersedia turun ke dunia mengambil rupa seorang manusia. Tidak ada jalan lain bagi manusia untuk diperdamaikan dengan Pencipta-Nya selain berdasarkan inisiatif perdamaian yang datang sendiri dari ALLAH. Dosa manusia yang membuat manusia gagal memenuhi standar ALLAH, telah membuat manusia seteru ALLAH. Dosa manusia telah menciptakan suatu jurang antara ALLAH dan manusia yang tidak terseberangi oleh manusia.

Semua manusia karena dosanya pasti mengalami maut (Roma 3:23 dan 6:23). Memang, hanya manusia sajalah yang mengalami kematian (untuk kemudian dihakimi). Karenanya, agar Kristus dapat mengalahkan maut, Kristus harus menjadi manusia sehingga Kristus dapat mati, dan kemudian bangkit (Ibrani 2:14). Tetapi, berbeda dengan kematian manusia yang disebabkan karena dosa manusia sendiri, kematian Kristus adalah satu-satunya kematian yang terjadi karena kehendak ALLAH (Galatia 1:4) dan kematian yang saatnya ditentukan sendiri oleh Kristus, bukan karena dibunuh tentara Romawi (Yoh.10:17-18).

Kematian Kristus adalah kematian yang menelan kematian (Yesaya 25:8). Kebangkitan Kristus merupakan kemenangan-Nya atas kuasa maut. 1 Korintus 15:17: “jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu.”

Kemerdekaan yang dibawa oleh Kristus adalah kemerdekaan yang sejati karena telah menaklukkan sekali dan untuk selama-lamanya “musuh” terbesar dan terakhir manusia, yakni dosa dan kematian.

Kehidupan kita saat ini menjadi relevan bagi kehidupan setelah kematian karena sudah ada Kristus yang menjembatani kehidupan saat ini dan kehidupan setelah kematian. Tanpa Kristus, hidup kita sekarang tidak akan membawa nilai tambah apa-apa bagi kehidupan setelah kematian karena sebaik-baiknya, sesaleh-salehnya dan sesuci-sucinya kita hidup di dunia ini, semuanya tidak mempunyai nilai apa-apa dan tidak dapat memuaskan standar kesempurnaan ALLAH untuk berdamai dengan ALLAH. Kemerdekaan oleh Kristus bagi kita 2000 tahun lalu sudah membereskan dan mempersiapkan bagi kita kehidupan berikut kita.

Ada suatu hikayat tentang suatu kerajaan yang mempunyai tradisi yang unik. Orang yang menjadi raja di kerajaan tersebut diberi kesempatan untuk mendapatkan apa saja yang dikehendakinya, dengan ketentuan, setelah mencapai “usia pensiun” sebagai raja ia harus turun tahta dan dibuang ke pulau yang tidak menyediakan fasilitas kemudahan apapun sehingga yang bersangkutan harus berusaha sendiri melakukan survival untuk bertahan hidup. Pulau pembuangan itu telah menjadi saksi bisu bagi kehidupan yang tragis dan ironis dari para mantan raja yang sangat menderita mengalami post power syndrome. Walaupun hidup berkelimpahan di pulau istana, hidup masing-masing raja tersebut tidak pernah tenteram karena mereka sudah mengetahui bagaimana jadinya mereka di pulau kedua.

Tetapi satu kali bertahta–lah seorang raja yang berhikmat. Selama ia bertahta, salah satu perintahnya adalah melakukan renovasi total atas pulau angker tersebut. Pulau yang tadinya menjadi mimpi buruk bagi para raja pendahulunya kini telah disulap menjadi tidak kalah indah dengan pulau pertama. Begitulah, selama masa hidupnya di pulau pertama, ia tidak pernah mengkuatirkan kualitas kehidupannya di pulau kedua. Ketika saatnya tiba bagi raja ini untuk “dibuang”, ia dengan senang hati menyongsong tibanya hari itu.

Demikiankah hidup kita saat ini? Hanya apabila pulau tujuan kita sudah siap, kita dapat benar-benar menikmati hari dan tahun di pulau asal. Hanya dengan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi kita, maka kita dapat memperoleh kepastian mendapatkan tempat di Sorga kelak. Hanya bila kita siap mati, maka kita siap hidup.

Kemerdekaan yang dipersembahkan bagi Kristus
Kita yang sudah benar-benar mengalami kemerdekaan oleh Kristus kini benar-benar mengalami kemerdekaan yang sesungguhnya. Dengan kekuatan yang kita terima melalui kesatuan kita dengan Kristus, kita akan dimampukan untuk tidak lagi terikat dengan tabiat-tabiat dan belenggu-belenggu dosa. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin masih kurang iman dan dalam sejumlah hal masih mengalami upaya-upaya penarikan oleh kekuatan dunia ini.

Memang, selama kita hidup selama itu pula cobaan menanti kita. Tingkat kualitas cobaan tersebut akan setara dengan potensi kegunaan kita bagi Kristus. Makin tinggi potensi kita, makin besar ancaman yang kita bawa atas rencana jahat iblis atas dunia ini. Dengan demikian, akan makin gencar pula serangan iblis bagi kita. Perjuangan iman ini memang tidak mudah karena perjuangan tersebut adalah perjuangan melawan roh-roh di angkasa, yakni kuasa si jahat (Efesus 6:12).

Salah satu jendela strategis yang Iblis selalu coba terobosi adalah pikiran kita.

Dengan mengendalikan pikiran dan pola pikir kita Iblis akan menguasasi salah satu sumber daya terbesar orang bersangkutan. Ia akan menggerogoti pikiran kita dengan membombardir kita dengan suara-suara yang mematahkan semangat dan iman kita, dan berusaha mengalihkan fokus hidup kita dari iman kepada Kristus kepada keadaan di depan mata dengan segala kemustahilan secara manusia. Iblis akan berusaha menutup pikiran kita bahwa kita sebenarnya sudah diselamatkan dan karenanya dengan kesatuan bersama kuasa kebangkitan Kristus, kita telah dilayakkan dan senantiasa akan dimampukan ALLAH untuk melayani-Nya.

Oleh karenanya, sisa hidup ini haruslah diisi dengan kehidupan yang senantiasa mengarahkan pandangan rohani kita kepada Kristus.

Sebagaimana lensa kamera yang harus selalu disesuaikan kembali dari waktu ke waktu setiap kali mengambil suatu gambar, demikian juga dengan fokus lensa hidup kita. Setiap keadaan di sekeliling kita, bahkan kondisi di dalam diri kita, senantiasa berbeda dari waktu ke waktu. Di tengah kondisi yang berubah-ubah sedemikian, Iblis selalu berupaya mencuri perhatian kita agar kita melepaskan fokus dan konsentrasi kita dari Kristus ke keadaan semu di sekeliling kita.

Sebagaimana Petrus yang akhirnya tenggelam setelah ia melapaskan fokusnya dari Kristus setelah beberapa waktu Petrus sempat berjalan di atas air ketika ia hanya mengarahkan konsentrasinya kepada Kristus semata, demikian juga kita akan ditaklukkan ketika kita justru fokus pada keadaan kita, kelemahan, kekuatiran kita atau “angin kencang” lain yang mengancam kita. Kita butuh mental rohani lensa kamera yang harus selalu difokus ulang dari waktu ke waktu untuk mempertahankan fokus pada Kristus semata.

Hanya hidup yang fokus pada Kristus membuat kita benar-benar merdeka dari beban hidup yang tidak perlu.

Kita akan mampu juga untuk memilih dan memilah mana yang berguna bagi kemuliaan Kristus, mana yang tidak dan karenanya harus dilepas. Kalau kita benar-benar fokus pada Kristus, tidak akan ada unsur dunia ini yang akan terlalu berat bagi kita untuk dilepaskan demi Kristus. Pada titik ini kita mengalami kemerdekaan sejati, dan hidup terasa jauh lebih ringan dan dapat dinikmati dalam damai Kristus.

Ketika Petrus diangkat kembali oleh Yesus setelah mulai tenggelam, saya yakin Petrus menyambut uluran tangan Yesus dengan kedua tangan Petrus, tidak dengan satu tangan saja. Artinya, ketika kita datang kepada dan bergantung pada Kristus untuk hal keselamatan, mari kita datang dengan seluruh keberadaan kita. Jangan biarkan satu tangan kita ada di tangan Kristus, tapi tangan yang satu lagi masih memegang sesuatu yang lain.

Tetapi, setelah diangkat oleh Kristus dari lautan maut dan selanjutnya mendapatkan kemerdekaan, kemerdekaan yang kita terima dari Kristus tersebut tidak boleh kita simpan untuk diri kita sendiri.

Pembebasan oleh Kristus telah bekerja (work in) dalam diri kita. Menindak-lanjuti hal itu, kita harus mengerjakan (work out) kemerdekaan dan keselamatan kekal yang telah kita terima (Filipi 2:12). Kristus telah mendamaikan (a) kita dengan ALLAH sehingga kita tidak perlu lagi mengalami sendiri murka ALLAH, dan (b) kita dengan diri kita sendiri.

Kini, yang harus kita kerjakan adalah membawa pendamaian dengan ALLAH melalui Kristus, kepada sesama kita. Artinya, kita akan hidup dalam kedamaian dengan orang lain, kita mendamaikan orang lain dengan sesamanya, dan yang paling penting dan mendesak adalah kita mendamaikan sesama kita dengan ALLAH.

Berita pendamaian dengan ALLAH melalui Kristus harus kita teruskan, melalui pemberitaan Injil. 1 Korintus 9:16-18: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil. Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, memang aku berhak menerima upah. Tetapi karena aku melakukannya bukan menurut kehendakku sendiri, pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku. Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil.”

ALLAH menghendaki kita mempunyai kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera (Efesus 6:15), karena boleh memberitakan Injil sudah merupakan upah bagi kita. Apa isi pemberitaan Injil kita? 2 Timotius 2:8 “Ingatlah ini: Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai keturunan Daud, itulah yang kuberitakan dalam Injilku. “

Kemerdekaan yang ALLAH berikan sebagai anugerah-Nya bukan merupakan alasan bagi kita untuk berbuat dosa, tetapi sebaliknya, justru menjadi kekuatan bagi kita untuk melawan godaan dosa, dan bahkan untuk meneruskan kemerdekaan tersebut ke orang lain. Kita akan sungguh-sungguh merdeka bila kita sudah mampu mengalahkan dan mengalihkan perhatian kita atas kenikmatan semu dunia ini, dan memasangkan pada kaki kita kasut kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera (Efesus 6:15).

Äpakah orang yang mendengar pekabaran Injil yang kita sampaikan jadi bertobat dan menerima Kristus, itu bukan yurisdiksi kita tetapi hak prerogatif ALLAH sendiri (Yohanes 6:44 dan 1 Korintus 3:7-8).

Tugas kita hanya menabur Injil Kristus pada orang-orang yang ALLAH tempatkan di tempat dan waktu kita. Kalau ALLAH berkenan kita akan dipakai juga sebagai penuai jiwa sebagai hasil Injil yang mungkin ditaburkan orang lain sebelumnya. Sebagaimana rakyat Indonesia merayakan kemerdekaannya setiap tahun, demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat (Lukas 15:10).

Mari kita bijaksana dalam mengerjakan kemerdekaan kita. Daniel 12:3 “… orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang, tetap untuk selama-lamanya.”

Yohanes 8:32,36 ”… kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu… Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka.” Inilah kebenaran dan kemerdekaan sejati!

Rise and shine! Bangkit dan jadilah terang! (Yesaya 60:1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar